Minggu, 28 Februari 2010

Mesjid megah di Indonesia

Masjid Dian Al Mahri

Masjid Dian Al Mahri adalah sebuah masjid yang dibangun di tepi jalan Raya Meruyung-Cinere di Kecamatan Limo, Depok. Masjid ini selain sebagai menjadi tempat ibadah sholat bagi umat muslim sehari-hari, kompleks masjid ini juga menjadi kawasan wisata keluarga dan menarik perhatian banyak orang karena kubah-kubahnya yang dibuat dari emas. Selain itu karena luasnya area yang ada dan bebas diakses untuk umum, sehingga tempat ini sering menjadi tujuan liburan keluarga atau hanya sekedar dijadikan tempat beristirahat.

Sejarah
Masjid ini dibangun oleh Hj. Dian Djuriah Maimun Al Rasyid, pengusaha asal Banten, yang telah membeli tanah ini sejak tahun 1996. Masjid ini mulai dibangun sejak tahun 2001 dan selesai sekitar akhir tahun 2006. Masjid ini dibuka untuk umum pada tanggal 31 Desember 2006, bertepatan dengan Idul Adha yang kedua kalinya pada tahun itu. Dengan luas kawasan 50 hektar, bangunan masjid ini menempati luas area sebesar 60 x 120 meter atau sekitar 8000 meter persegi. Masjid ini sendiri dapat menampung sekitar kurang lebih 20.000 jemaah. Kawasan masjid ini sering disebut sebagai kawasan masjid termegah di Asia Tenggara.


Arsitektur
Masjid Dian Al Mahri memiliki 5 kubah. Satu kubah utama dan 4 kubah kecil. Uniknya, seluruh kubah dilapisi emas setebal 2 sampai 3 milimeter dan mozaik kristal. Bentuk kubah utama menyerupai kubah Taj Mahal. Kubah tersebut memiliki diameter bawah 16 meter, diameter tengah 20 meter, dan tinggi 25 meter. Sementara 4 kubah kecil memiliki diameter bawah 6 meter, tengah 7 meter, dan tinggi 8 meter. Selain itu di dalam masjid ini terdapat lampu gantung yang didatangkan langsung dari Italia seberat 8 ton.
Selain itu, relief hiasan di atas tempat imam juga terbuat dari emas 18 karat. Begitu juga pagar di lantai dua dan hiasan kaligrafi di langit-langit masjid. Sedangkan mahkota pilar masjid yang berjumlah 168 buah berlapis bahan prado atau sisa emas.
Secara umum, arsitektur masjid mengikuti tipologi arsitektur masjid di Timur Tengah dengan ciri kubah, minaret (menara), halaman dalam (plaza), dan penggunaan detail atau hiasan dekoratif dengan elemen geometris dan obelisk, untuk memperkuat ciri keislaman para arsitekturnya. Ciri lainnya adalah gerbang masuk berupa portal dan hiasan geometris serta obelisk sebagai ornamen.
Halaman dalam berukuran 45 x 57 meter dan mampu menampung 8.000 jemaah. Enam menara (minaret) berbentuk segi enam atau heksagonal, yang melambangkan rukun iman, menjulang setinggi 40 meter. Keenam menara itu dibalut batu granit abu-abu yang diimpor dari Italia dengan ornamen melingkar. Pada puncaknya terdapat kubah berlapis mozaik emas 24 karat. Sedangkan kubahnya mengacu pada bentuk kubah yang banyak digunakan masjid-masjid di Persia dan India. Lima kubah melambangkan rukun Islam, seluruhnya dibalut mozaik berlapis emas 24 karat yang materialnya diimpor dari Italia.
Pada bagian interiornya, masjid ini menghadirkan pilar-pilar kokoh yang menjulang tinggi guna menciptakan skala ruang yang agung. Ruang masjid didominasi warna monokrom dengan unsur utama warna krem, untuk memberi karakter ruang yang tenang dan hangat. Materialnya terbuat dari bahan marmer yang diimpor dari Turki dan Italia. Di tengah ruang, tergantung lampu yang terbuat dari kuningan berlapis emas seberat 2,7 ton, yang pengerjaannya digarap ahli dari Italia.



Masjid Agung Al-Azhar
Masjid Agung Al-Azhar adalah sebuah masjid yang terletak di kompleks sekolah Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Masjid ini dikukuhkan oleh Pemda DKI Jakarta sebagai salah satu dari 18 situs tapak sejarah perkembangan kota Jakarta. Selain itu, masjid ini dijadikan cagar budaya nasional per tanggal 19 Agustus 1993. Komplek masjid ini juga mempunyai sebuah universitas didalamnya yaitu Universitas Al Azhar Indonesia.
Sejarah
Masjid ini didirikan atas usaha 14 tokoh Masyumi untuk memiliki sebuah masjid utama di kawasan Kebayoran Baru. Atas anjuran Mr Syamsudin, Menteri Sosial RI pada saat itu, maka oleh para tokoh tersebut didirikanlah Yayasan Pendidikan Islam (YPI), pada tanggal 7 April 1952. Yayasan tersebut pada tanggal 19 November 1953 mulai mendirikan sebuah masjid di area sebesar 43.755 meter2. Akhirnya pada tahun 1958, masjid ini selesai dibangun dan diresmikan dengan nama Masjid Agung Kebayoran.
Pada era sekitar 1960-an, rektor Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir, Prof. Dr. Mahmud Shaltut memberikan ceramah terbuka di masjid ini dan sangat terkesan dengan kemegahan masjid ini. Oleh beliau, dia menyarankan untuk memberi nama mesjid ini menjadi Masjid Agung Al-Azhar.



Masjid Raya Baiturrahman
Masjid Raya Baiturrahman adalah sebuah masjid yang berada di pusat Kota Banda Aceh. Masjid ini dahulunya merupakan masjid Kesultanan Aceh.
Sewaktu Belanda menyerang kota Banda Aceh pada tahun 1873, masjid ini dibakar, kemudian pada tahun 1875 Belanda membangun kembali sebuah masjid sebagai penggantinya.
Mesjid ini berkubah tunggal dan dapat diselesaikan pada tanggal 27 Desember 1883. Selanjutnya Mesjid ini diperluas menjadi 3 kubah pada tahun 1935. Terakhir diperluas lagi menjadi 5 kubah (1959-1968).
Masjid ini merupakan salah satu masjid yang terindah di Indonesia yang memiliki bentuk yang manis, ukiran yang menarik, halaman yang luas dan terasa sangat sejuk apabila berada di dalam ruangan masjid tersebut.
Tabloid Gema Baiturrahman
Sejak 3 Sepetember 1993, Remaja Masjid Raya Baiturrahman hingga kini telah mengeluarkan 900an edisi khutbah Jumat dalam bentuk Tabloid Gema Baiturrahman. Tabloid ini menggunakan thema Menuju Islam Kaffah di pimpin oleh Drs. H. Ameer Hamzah sebagai Pimpinan Umum, Ir. H. Basri Abu Bakar, M.Si sebagai Pimpinan redaksi dan Ridha Yunawardi sebagai Pimpinan usaha. Para jama'ah masjid raya Baiturrahman senang bila setiap jumat pagi telah mendapatkan Tabloid Gema Baiturrahman yang berisikan berita terkini tentang keacehan dan keislaman.




Masjid Istiqlal
Masjid Istiqlal adalah masjid yang terletak di pusat ibukota negara Republik Indonesia, Jakarta. Masjid ini adalah masjid terbesar di Asia Tenggara. Masjid ini diprakarsai oleh Presiden Republik Indonesia saat itu, Ir. Sukarno di mana pemancangan batu pertama, sebagai tanda dimulainya pembangunan Masjid Istiqlal dilakukan oleh Ir. Soekarno pada tanggal 24 Agustus 1961. Arsitek Masjid Istiqlal adalah Frederich Silaban.
Lokasi masjid ini berada di timur laut lapangan Monumen Nasional (Monas). Bangunan utama masjid ini terdiri dari lima lantai. Masjid ini mempunyai kubah yang diameternya 45 meter. Masjid ini mampu menampung orang hingga lebih dari dua ratus ribu jamaah.
Selain digunakan sebagai aktivitas ibadah umat Islam, masjid ini juga digunakan sebagai kantor Majelis Ulama Indonesia, aktivitas sosial, dan kegiatan umum. Masjid ini juga menjadi salah satu daya tarik wisata yang terkenal di Jakarta. Kebanyakan wisatawan yang berkunjung umumnya wisatawan domestik, dan sebagian wisatawan asing yang beragama Islam. Tidak diketahui apakah umat non-Islam dapat berkunjung ke masjid ini.
Pada tiap hari besar Islam seperti Idul Fitri, Idul Adha dan Maulid Nabi Muhammad, presiden Republik Indonesia selalu mengadakan kegiatan keagamaan di masjid ini yang disiarkan secara langsung melalui televisi.

Masjid di Riau


Masjid Raya Sultan Riau

Masjid Sultan Riau Penyengat di Tanjungpinang, Kepulauan Riau, merupakan masjid paling bersejarah di Riau. masjid ini sudah berdiri sejak 178 tahun lalu. namun bangunan yang dibuat dengan bahan campuran putih telur sebagai perekat ini tetap kokoh berdiri.

Bangunan masjid didominasi warna kuning dihiasi ornamen khas Melayu, ditopang empat buah tiang beton. Setiap sudut bangunan terdapat empat buah menara tempat muadzin mengumandangkan azan. Masjid bersejarah yang dibangun tahun 1832 telah ditetapkan sebagai cagar budaya. Dalam masjid juga terdapat musyhaf Alquran tulisan tangan hasil karya Abdurrahman Stambul, seorang warga Pulau Penyengat berangka tahun 1867.
Menurut sejarah, masjid ini dibangun dengan menggunakan campuran putih telur, kapur, pasir, dan tanah liat. Namun kekuatan bangunan tidak diragukan. Wisatawan domestik maupun luar negeri menjadikan masjid bersejarah ini sebagai tujuan wisata. Selain sebagai tempat beribadah, Masjid Sultan Riau Penyengat dibangun sebagai simbol perlawanan masyarakat Melayu Riau terhadap penjajah Belanda.



Masjid Raya Nur Alam Senapelan
Sebuah bangunan masjid megah yang didominasi warna kuning di daerah Senapelan. Bangunan tempat ibadah kaum muslimin seluas 60 X 80 meter itu dikenal dengan nama Masjid Raya Nur Alam. Sejarah nama Masjid Raya Nur Alam yang juga dijuluki Masjid Alam ini, diambil dari nama kecil Sultan Alamudin yaitu Raja Alam.

Dimana upacara menaiki bangunan ini dilakukan pada salat Jum'at yang dipimpin oleh menantu Sultan Alamudin yaitu Imam Syaid Oesman Syahabuddin, menantu Sultan Alamuddin, ulama besar kerajaan Siak.Bangunan Masjid bersejarah itu terlihat masih berdiri kokoh di sudut kota Pekanbaru.

Menurut sejarah rilisan takmir masjid ini, pada tahun 1762 Sultan Abdul Jalil Alamuddin Syah memindahan kerajaan Siak Sri Indrapura dari Mempura Besar ke Bukit Senapelan. Bukit Senapelan selanjutnya dikenal sebagai Kampung Bukit. Dalam tradisi melayu, sebuah istana kerajaan hendaknya dibangun bersama balai rapat dan masjid. Prasyarat tradisi itu merupakan perwujudan dari filosofi ôTali Berpilin Tigaö dimana dasar sebuah tata masyarakat melayu adalah adanya unsur pemerintah, adat dan agama.

Secara bentuk, bangunan Masjid Raya Pekanbaru telah mengalami berbagai ubahan Awalnya masjid hanya berukuran kecil dan terbuat dari kayu, menurut Dadang, salah satu pengurus masjid. Arsitektur bangun masjid ini masih asli. Masjid ini hanya mengalami pelebaran saja, mengingat umat muslim yang beribadah di masjid ini ini terus bertambah.

Masjid yang berdiri di luas tanah tanah sekitar setengah hektare ini, memiliki nilai arsitektur tradisional yang amat menarik. Bangunan religius yang merupakan peninggalan kerajaan Siak dan merupakan masjid batu pertama yang dibangung di Pekanbaru. tdak banyak orang mengetahui, komplek masjid inilah nama Pekanbaru bermula.

Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazzamsyah (1766-1779), komplek kerajaan ini mengalami kemajuan pesat. Sebagai sebuah pusat pemerintahan, dibangunlah sarana pendukung ekonomi berupa pasar. Islam dalam catatan banyak sejarawan disebarkan oleh kalangan pedagang. Pasar yang saat itu disebut sebagai ôPekanö sudah ada sebelumnya di komplek itu. bangunan pasar baru itu saat itu dinamakan sebagai ôPekan Baharoeö. Pada perkembanganya, kelaziman nama itu menjadi Pekanbaru dan menjadi nama kota ini hingga kini.

Masjid sebagai pusat kebudayaan islam kental sekali terlihat. Seperti pada zaman awal islam, masjid juga digunakan sebagai tempat untuk mengambil sumpah bagi orang yang akan memeluk agama dan keyakinan islam. Pada saat tribun berkunjung, H. Azhar Kasim, salah satu Imam masjid tengah mengambil sumpah dalam dua kalimat syahadat dua orang warga Rumbai. NiÆu Delau dan Feni Lase, misalnya.

Ddua orang warga Rumbai ini menyatakan memeluk agama islam, dan mengucap dua kalimat syahadat di masjid raya Pekanbaru ini. Imam masjid, H.Azhar Kasim, yang mengislamkan dua perantau asal Nias itu berpesan beberapa hal. Secara umum, rukun iman dan rukun islam menjadi nasehat awal kepada Niu dan Feni. ôIslam itu agama yang universal dan sesuai dengan nurani manusiaö ujar Azhar. Menurutnya, tidak ada perantara dalam hubungan antara pencipta dengan hambanya dalam islam. Disamping itu, ia juga menegaskan kepada dua muallaf itu, agar dalam memeluk islam bukan karena adanya pemaksaan.

Kedepan, masjid bersejarah yang sedang dipugar ini akan difungsikan sebagai pusat kajian dan kebuadyaan islam. Sebuah Islamic centre akan dibangun. Dengan pembebasan tanah seluas 3,5 hektare, komplek Islamic Center ini akan mengakomodir kebutuhan bermasyarakat umat islam secara luas.

Gedung serbaguna, pasar, pelabuhan hingga amphitheater akan dibangun guna mesukseskan tujuan revitalisasi masjid ini. 3 zona terbagi dalam rancang bangun kawasan masjid. Zona satu berupa Masjid sebagai tempat ibadah. Zona dua berupa Islamic center mewakili balai kerapatan, dan zona tiga adalah pelabuhan mewakili area istana. Ketiga zona tersebut, menurut pengurus masjid merupakan perwujudan filosofi tiga berpilin yang menjadi nafas kerajaan melayu.

Terletak tak jauh dari pusat perbelanjaan Pasar Bawah di Kecamatan Senapelan, di komplek masjid saksi dari penyebaran awal agama islam ini terdapat komplek makam. Selain tempat ibadah, pada bulan tertentu, Masjid Raya juga dijadikan salah satu objek wisata religius andalan kota Pekanbaru. Wisatawan domestik maupun luar negeri acapkali berkunjung ke masjid itu.

Prosesi adat mandi menjelang bulan puasa ôMandi Balimauö adalah salah satu tradisi menjelang ramadhan yang oleh pemerintah setempat dijadikan salah satu andalan sektir wisata. Mandi menjelang bulan ramadhan juga dikenal dibeberapa tempat lain.

Masjid di Sumatera Utara

1. Mesjid Raya Al Mahsum

Mesjid Raya Al Mahsum merupakan salah satu peninggalan Kesultanan Deli yang asih berdiri tegak dan dimanfaatkan sebagi tempat ibadah dan Syiar Islam. Mesjid ini dibangun oleh Sultan Deli Makmun Al Rasyid Perkasa Alamsyah IX pada 21 Agustus 1906 dan selesai dibangun pada 10 September 1909. Mesjid ini dirancang oleh arsitektur Belanda bernama Dingemans. Mesjid raya ini memmiliki arsitektur bergaya Timur Tengah, India dan Spanyol.


2. Mesjid Raya Al Osmani
Mesjid Raya Al Osmani terletak ditepi Jalan Medan-Belawan tepatnya Jalan Yos Sudarso, Pekan Labuhan. Mesjid Al Osmani merupakan Mesjid tertua dikota Medan dibangun pada masa kekuasaan Sultan Deli bernama Sultan Mahmud tahun 1824, yang terbuat dari kayu. Pada tahun 1884 ketia Kesultanan Deli diperintah oleh Sultan Mahmud Perkasa Alam mesjid ini dipugar menjadi permanan dengan gaya arsitektur Melayu, Timur Tengah, Spanyol, India dan Cina.


3, Mesjid Azizi

Mesjid Azizi yang terletak di Tanjung pura Kabupaten Langkat merupakan salah satu mesjid peninggalan Kesultanan Langkat. Dibangun Oleh Sultan Abdul Aziz Jalil Rahmatsyah pada tahun 1902.Bangun ini memiliki kesamaan dengan Mesjid Raya Al-Mahsum milik kesultanan Deli, hal ini disebabkan adanya hubungan kekerabatan antara Su;tan Deli dengan Su;tan Langkat.


4. Mesjid Sulaimaniyah
Mesjid Sulaimaniyah terletak di Perbaungan yang merupakan ibukota kerjaan Kesultanan Serdang setelah pindah dari Ranto Panjang (Panti Labuh). Mesjid Ini dibangun pada masa kekuasaan Sultan Serdang yang bernama Sultan Sulaiman Sariful Alamsyah pada tahun 1901

Masjid di jawa barat


Masjid Agung Bandung

Lebih dari 100 tahun yang lalu, bangunan istana umat Islam di pusat kota Kembang berdiri kokoh. Seperti halnya bayi yang baru lahir, dia tidak begitu saja bisa langsung berjalan apalagi berlari. Semua ada tahapan-tahapan tertentu yang harus dilalui. Begitu pula dengan mesjid yang terletak di pusat Kota Bandung ini. Tidak serta merta bisa kokoh dan nampak indah seperti sekarang.
Dalam riwayatnya, Mesjid Agung Bandung dulu awal dibangun hanya berbalutkan dinding-dinding yang terbuat dari anyaman bambu. Begitu pula dengan aksesoris mesjid yang lain masih menggunakan bahan-bahan tradisional. Bahkan ada kolam cukup luas yang digunakan untuk berwudhu, sumber air ini pun bermanfaat untuk memadamkan si jago merah yang terjadi di sekitar Mesjid Agung Bandung pada waktu itu.
Sejarah lain mengatakan pembangunan pusat ibadah umat Islam terbesar di Kota Bandung ini “berduet” dengan pembangunan Pendopo Kabupaten Bandung di selatan pusat Kota Kembang ini. Selain itu mesjid ini adalah salah satu elemen pusat kota tradisional waktu negeri ini, di jajah oleh negeri kincir angin yaitu sebagai simbol religiusitas serta sebagai pusat keagamaan kota.
Masyarakat Priangan sangat memanfaatkan mesjid ini sebagai lahan untuk beribadah. Tidak terbatas melaksanakan shalat saja tapi juga aktivitas agama yang lain. Begitu pula yang dimanfaatkan oleh para pengelola mesjid, berusaha untuk bisa memakmurkan tempat ibadah ini dengan berbagai aktivitas seputar Islam. Contohnya adalah menggali potensi masyarakat terhadap Al-Quran dengan mengadakan pengajian, ataupun memperingati hari-hari besar umat Islam.
Mesjid Agung ini juga sering disebut Bale Nyungcung (Bale: tempat pertemuan masyarakat, nyungcung: lancip). Dikatakan seperti itu, karena bentuk atapnya yang lancip (nyungcung) seperti gunungan. Menurut catatan sejarah, mesjid yang bertempat di Alun-Alun Bandung ini berhadapan dengan Bale Bandong yang berfungsi sebagai tempat pertemuan tamu kehormatan Kabupaten Bandung.
Sama seperti halnya kantor lembaga biasa, mesjid ini pun memiliki struktural kepengurusan agar tata tertib dan kemakmuran mesjid lebih terjaga. Karena ketekunan para teknokrat masjid dalam melaksanakan amanahnya, syi’ar dan kemakmuran rumah Allah ini senantiasa terpancar ke setiap penjuru kota kembang.
Karena mengikuti arus zaman, pusat ibadah ini pun mengalami metamorfosis dalam perwajahannya. Mulai dari bongkar pasang bangunan mesjid sampai perombakan di sekitarnya agar lebih luas. Beberapa ornamen masjid dibuat lebih menarik dengan gaya khas Priangan.
Meskipun demikian, bangunan mesjid tidak luput dari wajah tradisional Sunda dari bentuk mesjid sampai aksesoris yang terpajang pun menyampaikan bahwa seni Sunda tidak akan pernah hilang meskipun tergiring ombak perubahan zaman menjadi lebih modern. Di tahun-tahun berikutnya, Mesjid Agung dilengkapi dengan serambi depan dan sepasang menara yang tidak begitu tinggi dengan tutup menara dibuat tumpang susun di kiri-kanan bangunan.
Mesjid yang juga dijuluki “Kaum Bandung” ini terus mengalami pembedahan bangunan. Perubahan drastis tampak pada atap mesjid, atap mesjid tumpang susun yang dipakai dari awal mesjid ini terbentuk, kini diubah menjadi kubah model bawang bergaya Timur Tengah. Lalu dibangun menara tunggal yang berdiri tegak di halaman depan mesjid. Masa demi masa telah dilalui, seiring bergulirnya perubahan perkembangan kota yang terkenal dengan oncomnya ini, kini Masjid Agung pun menjadi pusat pendidikan Islam serta pusat kesehatan masyarakat.
Kemakmuran mesjid yang pernah menjadi tempat pertemuan besar seperti Konferensi Asia Afrika ini semakin nampak jelas. Kumandang takbir yang berkoar-koar memanggil umat Islam sekitar sana untuk segera menunaikan ibadah shalat terdengar sangat lantang. Gemuruh orang-orang yang menuntut ilmu dari anak-anak sampai kakek-nenek berkumpul disana. Pelayanan kesehatan kepada masyarakat sekitar pun tak terelakan. Kini Masjid Agung memiliki multi fungsi, bukan hanya sebagai sarana ibadah saja.
Gema tausiyah yang disampaikan oleh para da’i bukan hanya dapat didengar oleh para jama’ah yang hadir di tempat, tetapi juga dengan mengudara melalui media elektronik seperti radio. Sehingga masyarakat juga dapat mendengarkan ceramah melalui radio.
Setelah adanya pelantikan pemimpin baru Jawa barat pada waktu itu, Mesjid Agung dibedah total. Beberapa tubuh mesjid yang sudah tidak digunakan diwakafkan kepada mesjid-mesjid yang ada di Kota Peuyeum (tape singkong) ini. Tanpa tinggal diam, Gubernur Jawa Barat yang baru itu langsung mengerahkan pasukan untuk merombak kembali Mesjid Agung. Untuk tahap pertama yaitu, pembuatan bangunan yang menjulang tinggi serta dibuatnya jalan penghubung antara Mesjid Agung dengan pusat kota. Pembangunan itu memakan biaya puluhan juta rupiah.
Perombakan itu membuat wajah mesjid semakin modern. Lantai mesjid kini sudah bertingkat, semua bahan pembuatan bangunan yang terbuat dari bata dan beton, ornamen menara yang dilapisi logam, atap kubah model bawang yang diganti dengan model joglo. Namun, atap tradisional mesjid diganti dengan kubah, sehingga kesan bangunan mesjid akan lebih mudah dikenali.
Perubahan ini semakin memberikan kesan modern yang kini telah menguasai arus zaman hingga mesjid pun tak luput dari korban modernitas. Meskipun demikian, bangunan baru ini dapat menampung ribuan orang, selain itu terdapat ruangan khusus untuk meminjam ataupun membaca buku bagi para pengunjung mesjid.
Perlu diketahui pula, bahwa Presiden pertama RI pun pernah berkontribusi dalam perombakan Mesjid Agung Bandung. Namun beberapa tahun setelah kemerdekaan RI, perwajahan Mesjid Agung sungguh sangat memprihatinkan. Dinding mesjid saat itu di penuhi ornamen batu granit serta pintu gerbang yang dikerangkeng besi.
Perubahan itu membuat tempat ibadah terisolasi. Di tambah dengan hiruk pikuk pertokoan yang dari tahun ke tahun semakin menghimpit mesjid bersejarah ini. Beberapa puluh tahun kemudian, di tangan seorang arsitek, mesjid ini mengalami kembali perubahan yang cukup signfikan. Yaitu dengan diperluasnya beberapa pijakan kaki mesjid serta me-reshuffle beberapa bangunan
. Hingga akhirnya renovasi besar-besaran ini mengundang perhatian tokoh besar Jawa Barat. Maka beliau mengadakan pertemuan dengan beberapa pasukan yang turut andil dalam pembangunan mesjid untuk merubah nama Mesjid Agung menjadi “Mesjid Raya Bandung Jawa Barat”. Proyek renovasi ini memberikan nuansa baru dengan dibangunnya dua menara kembar dengan ukuran ketinggian yang melambangkan asma Allah SWT. Bangunan yang mejulang tinggi ini juga dimanfaatkan untuk kepentingan komersial, telekomunikasi dan obyek wisata.


Masjid Mungsolkanas
BANDUNG, (PRLM).- Mungkin tidak banyak warga Bandung yang mengenal Masjid Mungsolkanas. Masjid itu memang tidak terletak di pinggir jalan. Untuk mencapainya, Anda harus ke Cihampelas, berdiri di seberang Rumah Sakit Advent atau di sebelah Sekolah Tinggi Bahasa Asing.
Dari tempat itu akan terlihat sebuah pelang: Masjid Mungsolkanas, Berdiri Sejak 1869.
Siapa yang akan menyangka jika masjid mungil di dalam Gang Winataatmaja itu ternyata salah satu masjid tertua di Kota Bandung? Sayangnya, tidak ada literatur sejarah resmi yang membahas sejarah mesjid itu.
Satu-satunya sumber yang bisa memberikan penjelasan tentang Masjid Mungsolkanas pada saat ini, adalah H. Rudi S. Ahmad. Dia adalah cucu H. Zakaria Danamihardja, orang pertama yang menjadi pengurus Masjid Mungsolkanas, pascarevolusi kemerdekaan.
Di tangan Rudi, tersimpan dengan baik catatan harian Zakaria Danamihardja, yang berisi kisah hidup dan silsilah keluarganya, termasuk riwayat Masjid Mungsolkanas, yang memang didirikan oleh leluhurnya pada 1869. Zakaria Danamihardja menulis catatan harian dan sejarah hidup leluhurnya pada tahun 1985, di usianya yang telah 80 tahun. Catatan itu ditujukan sebagai kenangan bagi anak-cucunya.
Menurut Zakaria, Masjid Mungsolkanas awalnya hanya berupa tajug yang sederhana. Masjid itu didirikan di atas lahan, yang diwakafkan oleh nenek Zakaria yang bernama Ibu Lantenas.
Lantenas merupakan perempuan kaya, janda dari R. Suradipura, Camat Lengkong, Sukabumi, yang wafat pada 1869. Tanah yang dimiliki oleh Lantenas, mulai dari Jalan Pelsiran sampai ke Gandok (Jl. Siliwangi). Termasuk di dalamnya, lahan untuk pemandian Cihampelas, dan pabrik daging, yang sekarang telah berubah menjadi pusat belanja Cihampelas Walk. Lantenas wafat pada tahun 1921 di usia 80 tahun.
Masjid itu diberi nama Mungsolkanas oleh Mama Aden alias R. Suradimadja alias Abdurohim, yang juga keluarga Lantenas. Mama Aden memberi nama Mungsolkanas, sebagai singkatan dari mangga urang solawat ka nabi SAW (mari kita solawat ke nabi SAW). Di zaman Belanda, Mama Aden sering menulis di media massa Islam waktu itu, misalnya Al Muhtar. Di setiap artikelnya, Mama Aden selalu membubuhkan inisial TTM yang merupakan singkatan Tajug Tjihampelas Mungsolkanas.
Tajug Mungsolkanas pertama kali dipugar menjadi masjid pada tahun 1933, hampir bersamaan saat Wolf Schumaker memugar Masjid Kaum Cipaganti. Bedanya, Mungsolkanas dipugar atas biaya dan inisiatif Mama Aden, sedangkan Mesjid Kaum Cipaganti dibiayai oleh pemerintah kolonial Belanda.
Menurut catatan Zakaria, Masjid Cipaganti sendiri awalnya berupa tajug dan dibangun oleh Mohammad Tabri, yang juga leluhurnya. Saat Masjid Cipaganti dipugar oleh Schumaker, jamaah yang biasa shalat di Cipaganti untuk sementara pindah tempat ke Mungsolkanas.
Setelah Masjid Kaum Cipaganti selesai dibangun, Mama Aden yang saat itu menjadi imam dan khotib di Mungsolkanas, mengusulkan kepada Bupati Bandung, agar yang memimpin Masjid Cipaganti, adalah seorang ulama bernama Juanda.
Usulan itu didengar Bupati Bandung. Ulama Juanda pun dipanggil ke dan diuji di Masjid Kaum. Setelah dinyatakan lulus, Juanda menjadi imam Mesjid Kaum Cipaganti. Tetapi tak berapa lama, dia dipindahkan menjadi imam Masjid Ujungberung, sampai wafatnya di tahun 1935.


Masjid Raya Cipaganti
Masjid sederhana namun elegan yang terletak di Jalan Raya Cipaganti ini menjadi bagian sejarah Kota Bandung. Saat itu, sekitar awal 1930-an, Ibu Kota Bandung akan dipindah ke Kawasan Bandung Utara (KBU). Makanya pemimpin Bandung saat itu mendirikan sejumlah bangunan seperti PT Pos, Gedung Hologram, Gedung Isola dan Masjid Raya Cipaganti yang dulu bernama Masjid Tjipaganti.

"Namun entah karena alasan apa pemindahan ibu kota ke KBU batal dilakukan," ujar Muadim Masjid Cipaganti, Uju Dimyati (68 tahun). Tapi untungnya, Masjid Cipaganti tetap berdiri.

Menurut sejarahnya, Masjid Raya Cipaganti lebih terkenal dibanding masjid pertama yang didirikan di Kota Bandung, yang kini bernama Masjid Raya Bandung. Kenapa? Karena masjid ini adalah satu-satunya masjid yang berdiri di kawasan kediaman orang Eropa. Masjid ini pula menjadi salah satu tonggak sejarah perkembangan Islam di Bandung.

Uju mencatat sejumlah nama penting yang pernah beraktifitas di masjid ini. Tak hanya sekadar salat, mereka mengobrol hal-hal penting. "Dari mulai Presiden Soekarno hingga ke Gubernur Jabar R Nuryana beberapa kali berkunjung kesini," katanya menjelaskan.

Selain tokoh nasional, Masjid ini banyak dikunjungi turis. Mereka sengaja datang untuk melihat secara langsung kekokohan masjid buatan orang Belanda. Mereka berasal dari Cina, Jepang, dan daerah Eropa. Bahkan pernah suatu hari, keturunan dari arsitek Masjid Raya Cipaganti yang juga tercatat sebagai arsitek bangunan-bangunan penting di Bandung, Prof Wolff Schomaker, datang kesini.

"Biasanya turis-turis itu berfoto ria di depan masjid atau melihat-lihat ke dalam masjid," ujar Uju.

Masjid inipun biasanya menjadi tempat persinggahan masyarakat yang akan melakukan perjalanan ke Lembang. Mereka berhenti sejenak untuk salat, beristirahat dan makan. Ketika Ramadan seperti sekarang, banyak sekali orang yang menghabiskan waktu disini. Ada yang ikut mengaji, salat, bersedekah, namun ada pula yang numpang tidur.



MASJID MERAH PANJUJUN
Masjid ini berlokasi di Jalan olektoran kelurahan panjunan, kecamatan Lemahwungkuk, kota Cirebon. Lokasi masjid ini dikenal sebagai perkampungan Arab yang telah berdiri semenjak tahun 524. Pembangaunan masjid dimulai tahun 1480 M oleh Pangeran Panjunan, dengan ukuran 150 m2. Tahun 1949 dibangun pagar Kutaosod, sekelilingi halaman masjid oleh panembahan Ratu (Cicit Sunan Gunung Jati), pintu masuk di bangun sepasang candi bentar dan pintu panel Jati Berukir. Pada tahun 1978 masyarakat setempat memebangun menara pada halaman depan sebalah seltan sementara candi bentar dan pintu panel diBongkar. Keadaan masjid yang masih terawat ii bertahan hingga kini, kecuali penggantian atap sirap oleh dinas kebudayaa dan pariwisata Prpinsi jawa Barat tahun 2001-2002.

mesjid di sumatera barat





Masjid Tuo Kayo Jawo
Dikabupaten solok, ternyata agama islam ini sudah berkembang sejak jaman dahulunya, hal ini tebukti dengan telah berdirinya sebuah mesjid di daerah Kayu Jao, Kenagarian Batang Barus, Kecamatan Gunung Talang, Kabupaten Solok yang diperkirakan berumur lebih kurang 400 tahun.

Bangunan mesjid yang rata-rata terbuat dari kayu dengan beberapa ukiran-ukiran di sepanjang dinding dan tonggaknya ternyata tidak mempunyai pasak dari paku akan tetapi hanya berpasakkan kayu juga, layaknya seperti pembuatan sebuah Rumah Gadang sebagai sumah adat orang Minang Kabau jaman dahulu.

Tidak itu saja atap mesjid yang berbentuk kerucut dan terdiri dari 3 tingkatan itu juga memakai ijuk sebagai pengganti sengnya, itupu terlihat sudah dimakan usia, karena rata-rata ijuk-ijuk tersebut sudah berwarna kecoklatan pertanda umurnya sudah lanjut.

Didalam mensjidpun banyak hal-hal menarik yang bisa kita jumpai, terutama Migrap tempat biasanya khatib memberikan ceramah, migrap ini tidak serperti migrab di masjid kebanyakan, ia persisnya menyerupai kursi sebuah tempat diduduk yang juga terbuat masih terbuat dari kayu yang sekelilingnya juga berukir.


Sementara itu menurut salah seorang saksi sejarah yang ditemui dilokasi itu, Rajo Intan, mengatakan, disamping mempunyai keunikan juga banyak keanehan yang ada pada masjid tuo itu, salah satunya ia tidak pernah dijamah oleh api walaupun beberapa waktu yang lalu sempat ada kebakaran persis berada di sebuah bangunan yang berada di samping mesjid itu.

Tidak itu saja saat ada air bah melanda daerah ini mesjid yang memjadi kebanggaan masyarakat itu juga tidak dijamahnya.

Rajo Intan juga mengatakan untuk bangunan yang telah menjadi salah satu cagar budaya di sumatera barat itu sudah beberapa kali dilakukan pemugarannya hal ini dimaksudkan agar bangunan tersebut dpat terawat dan tahan lama akan tetapi pemugaran tersebut tidak meninggalkan asitektur aslinya, salah satu yang telah dilakukan itu yaitu mengganti atap ijuk yang sudah dimakan usia itu beberapa waktu yang lalu.


Saat ini mesjid yang juga merupakan kebanggaan masyarakat Kabupaten Solok itu masih dimamfaatkan oleh warga sekitar sebagai tempat ibadah apalagi selama bulan puasa ini, mesjid tersebut selalu ramai oleh warga baik siang maupun malam harinya



MASJID SYEKH BURHANUDIN
Masjid Syekh Burhanudin dibangun pada tahun 1690 M oleh Syekh Burhanudin dan para pengikutnya. Bentuk banguan masjid sangatlah sederhana dan haya beruykuran 15 x 15 M. masjid ini telah berusia 315 tahun. Masjid yang berlokasi di Kampung Koto Ulaka, Kecamatan Ulaka Tapakis, kabupaten Padang Pariaman ini berbahan dasar dari kayu.
Pemugaran masjid pertama kali dilakukan oleh Sykh Burhanudin II pada tahun 1760 M dan dilanjutkan oleh Sykh Tibarau dan Sykh Surau Gadang Tanjung Medan tahun1760 M. Masjid ini berfungsi sebagai pusat pengamala Tharekat Syatariah, yang jiga berfungsi sebagai pusat komunikasi antar anggopta masyarakat dalam kesatuan adat Syara. Bangunan masjid satu lantai ini sekarang berukuran 40 x 40 M. Dengan ukuran teras 3 x 40 M, 3 Sisi Barat, Selatan, dan timur. Tanah pendirian masjid ini ialah tanah Wakaf seluas 55x 70 M.


MASJID BINGKUDU

Keberadaan Masjid tidak bisa dilepaskan dari perkembangan Islam di Minangkabau. Sebab sebagai salah satu tempat ibadah, masjid merupakan bangunan suci yang mesti ada pada suatu daerah ataupun perkampungan yang berpenduduk muslim.
Sampai saat ini, jumlah masjid yang tercatat di Departemen Agama Provinsi Sumbar, sekitar 5.682 unit. Dari jumlah itu, cukup banyak masjid-masjid bersejarah, bahkan berumur ratusan tahun, yang nyaris terlupakan. Karena di samping gencarnya pembangunan masjid-masjid baru, kurangnya perawatan dan renovasi, membuat “surau-surau” tua itu tenggelam dimakan usia.
Padahal dulu, selain sebagai tempat ibadah, masjid juga merupakan tempat belajar. Tak jarang, para alim ulama, cerdik pandai, dan tokoh-tokoh besar negeri ini lahir dididik di masjid. Mulai dari belajar tentang agama, adat istiadat, ilmu beladiri silat, tempat musyawarah, serta banyak kegunaan positif lainnya.
Jadi saat itu, masjid tidak saja diramaikan golongan tua-tua saja, tetapi merupakan tempat berkumpul anak-anak muda. Bahkan para lelaki Minangkabau juga memiliki pantangan tidur di rumah setelah mulai baligh. Rumah hanya di tempati pada siang hari, setelah sekolah dan menolong orangtua, biasanya “bujang-bujang” Minangkabau melanjutkan aktivitasnya di masjid.
Sesuai dengan falasafah yang dipegang teguh masyarakat “Adat Basandi Sara’ Sara’ Basandi Kitabbullah’, maka tak urung lagi, bahwa sejak dulu penduduk Minangkabau dikenal sebagai orang yang taat beragama dan teguh memegang adat. Namun kalau nostalgia itu dibawa pada kondisi sekarang, sepertinya tinggal sedikit yang tersisa.
Akan sangat jarang sekali, ditemukan anak muda yang tidur di surau, mempelajari agama, menghidupkan masjid dengan kegiatan-kegiatan yang positif. Atau sedikit sekali terlihat orangtua yang menyuruh anak-anaknya menjadi remaja masjid, yang selalu ke masjid untuk beribadah dan belajar. Tetapi tidak akan sulit menemukan mereka di tempat-tempat hiburan, plaza-plaza, supermarket, serta pusat-pusat keramaian lainnya.
Apakah masjid di Sumbar ini sudah mulai “lapuk”, tergerus seiring perkembangan zaman? Lapuk, di sini tentu mempunyai pengertian yang cukup luas, tidak saja lapuk pada tatanan fisik, tapi juga “lapuk” dalam aspek nonfisik. Dan yang cukup memilukan adalah masjid-masjid yang lapuk, kedua-duanya, fisik dan non fisik.
Dari penelusuran Padang Ekspres, bersama Padang TV pada beberapa daerah di Sumbar, ternyata cukup banyak ditemukan kondisi masjid yang kurang mendapat perhatian. Seperti Masjid Syech Daud, yang terletak di Nagari Malampah Kecamatan Tigo Nagari, Kabupaten Pasaman Barat. Masjid yang mempunyai nilai sejarah cukup tinggi ini, nyaris terlupakan keberadaannya. Padahal, masjid yang didirikan pada tahun 1890, mempunyai peran yang sangat penting dalam pengembangan ajaran Islam di daerah tigo nagari.
Nama Syech Daud sendiri, diambil dari nama pendiri masjid, yaitu seorang ulama besar Sumbar, yang berasal dari Nagari Malampah. Ada hal cukup unik terlihat, saat masuk ke dalam masjid yang terdiri dari 10 buah tiang, 6 jendela. Dimana akan ditemukan bendera merah putih terpasang di sekeliling dinding masjid. Menurut cerita masyarakat sekitar, bendera tersebut dijahid murid-murid Syech Daud. Namun sayangnya sampai kini tidak ada masyarakat yang mengerti makna pemasangan kain merah putih itu.
Menurut Abdullah Hukum, ulama pada daerah Durian Gunjo, bendera itu sudah terpasang sejah tahun 1926. Jauh sebelum kemerdekaan Indonesia di proklamirkan, bahkan dua tahun sebelum pelaksanaan kongres pemuda pertama tahun 1928. “Kain merah putih itu di pasang dua lapis. Bahagian luarnya memang sudah agak kusam, tetapi yang di dalam masih bewarna terang. Namun sayang kami tidak mengetahui makna dari pemasagan kain yang menyerupai bendera merah putih,” katanya.
Masjid yang telah berumur lebih dari satu abad ini kendatipun masih terlihat kokoh, namun dinding dan tiang-tiangnya sudah mulai lapuk dimakan usia. Sedangkan masyarakat dengan swadaya sendiri hanya mampu memelihara seadanya. Sampai sekarang aktivitas keagamaan pada masjid satu-satunya di Jorong Siparayo, Durian Gunjo tetap berlanjut. Seperti untuk shalat Jumat, wirid, pengajian, tadarus, ataupun untuk shalat tarwih.
“Agar masjid ini senantiasa terawat dan terjaga, kami sangat mengharapkan uluran dari semua pihak. Sehingga keaslian dan nilai sejarah yang dimiliki masjid ini tidak tenggelam seiring dengan waktu,” ucap Wali Nagari Malampah, Asri Nur yang waktu itu ikut menemani.
Selain di Pasaman, pada Nagari Candung, Kecamatan Agam juga terdapat sebuah masjid kuno, yang masih bisa dinikmati sampai saat ini, yakni Masjid Bingkudu. Menurut cerita masyarakat sekitar, masjid ini dibangun pada tahun 1813 yang diprakarsai oleh tokoh-tokoh tujuh nagari. Ketujuh nagari itu adalah Canduang, Koto Lawas, Lasi Mudo, Pasanehan, bukit batabuah, Lasi Tuo.
Masyarakat secara bersama-sama membangun masjid seluas 21 x 21 M dengan tinggi 37,5 meter ini. Menariknya hampir semua material yang pergunakan untuk membuat tempat beribadah ini berasal dari kayu, baik lantai, dinding, maupun tiang-tiangnya. Sedangkan atapnya yang berundak tiga, terbuat dari susunan ijuk.
Bangunan ini saat didirrikan memakai sistem pasak. Artinya tidak satupun dari komponen penyusun masjid ini yang dilekatkan satu sama lain dengan menggunakan paku. Lampu-lampu minyak yang yang terpajang pada setiap sudut masjid rata-rata juga sudah menjadi barang antik, karena telah berumur ratusan tahun.
Pekarangan di sekitar masjid cukup indah. Tiga kolam ikan, serta satu kolam besar untuk berwudhuk membuat kesan masjid yang cukup jauh dari pemukiman penduduk itu semakin alami. Dulunya air untuk berwudhuk dialirkan dengan bambu sepanjang 175 meter dari kelurahan. Namun sekarang untuk memperlancar aliran air, salurannya diganti dengan pipa besi.
Selain itu, pada pekarangan masjid juga terdapat sebuah menara denga ketinggian 30 meter. Seperti kebanyakan masjid yang ada, menara ini digunakan untuk mengumandangkan azan, terutama saat belum ada pengeras suara. Sementara di halaman masjid terdapat makam Syech Ahmad Thaher, pendiri sekolah pendidikan Islam yang lebih dikenal dengan MUS (Madrasah Ulumi Syriah). Ia meninggal sekitar 13 Juli 1960.
Pada tahun 1957, atap masjid yang terbuat dari ijuk, diganti masyarakat dengan seng. Itu dilakukan karena ijuk yang yang mengatapai ruangan masjid dari hujan dan panas telah lapuk. Dua tahun kemudian dilakukan renovasi dan pemugaran terhadap bangunan masjid yang lainnya.
Menurut Kepala KUA Candung, Ramza Husmen yang ikut langsung meninjau Masjid Bingkudu mengatakan pada tahun 1999, masjid ini diserahkan kepada Pemkab Agam, dan ditetapkan sebagai salah satu bangun cagar budaya di Agam. Dua tahun setelah itu, masjid mengalami pemugaran secara keseluruhan. “Atapnya yang dulu seng dikembalikan ke ijuk. Kemudian bagian-bagian yang lapuk diganti dan serta dicat lagi sebagaimana aslinya,” kata Ramza.
Aktivitas keagamaan tetap berlangsung di tempat ini. Baik untuk shalat berjamaah setiap hari, shalat Jumat, serta ibadah lainnya. Apalagi saat bulan Ramadhan kali ini, intensitas kunjungan masyarakat terhadap masjid sangat tinggi. Hanya saja seperti yang diingikan warga, perhatian pemerintah berlangsung secara kontiniu.
Seperti sekarang beberapa bagian dari bangunan pasca direnovasi tahun 1992, juga haru mendapat pembenahan lagi. “Warga juga telah melakukan perbaikan, tetapi memang semampunya. Kami ingin masjid ini bisa dinikmati sampai kapanpun sebagai tempat beribadah,” pungkas Ramza.
Di Kota Padang, selain Masjid Raya Gantiang juga terdapat masjid kuno lainnya yang didirikan sekitar tahun 1750 M. Masjid yang berada di sekitar kawasan Batang Arau itu bernama Masjid Nurul Huda. Batang Harau sejak ratusan tahun lalu memang telah berkembang sejak ratusan tahun lalu. Sampai saat ini pun kita masih bisa melihat deretan bangunan-bangunan kuno yang berjejer sepanjang sisinya.
Masjid ini sepertinya hampir luput dari perhatian warga Kota Padang. Setelah ratusan tahun berada di hiliran Batang Arau, memberikan pengajian pada warga sekitar, namun sampai sekarang belum masuk dalam salah satu cagar budaya, di Kota Padang.
Ini mungkin terjadi, karena bangunannya sudah tidak asli lagi. Memang, sejak tahun 1960-an bangunan asli Masjid Nurul Huda yang berbahan kayu diganti dengan semen. Sama seperti fungsi masjid pada zaman dulu, selain tempat beribadah, juga sebagain tempat menimba ilmu.
Cukup banyak imam-imam langsung mengajarkan agama kepada di masjid ini, terakhir adalah Imam Abdul Wahab. Hingga akhir hayatnya pada tahun 1940, imam yang lahir tahun 1880 ini mengabdikan dirinya untuk mengajarkan Islam kepada masyarakat, terutama tentang masalah ketauhidan.
Usman rajo Lelo (80), salah seorang anak didik Imam Abdul wahab yang masih hidup saat ini, mengaku masih mengingat jelas cara mengajar yang diterapkan Imam Abdul Wahab. “Kami belajar mengaji setiap selesai Shalat Magrib hingga selesai waktu shalat Isya. Cara imam mengajar kami sangat khas. Setiap ayat-ayat Alquran dilantunkan dengan irama yang menawan. Sehingga anak-anak yang belajar saat itu sangat menyenangi pelajaran mengaji. Setelah mengaji para anak laki-laki belajar silat hingga tengah malam,” terang Usman.


Masjid Raya Ganting, Padang
Padang - Sebagai salah satu kawasan yang menjadi pusat penyebaran agama Islam di tanah air, terutama di pesisir Barat Sumatera, wilayah Sumatera Barat (Sumbar) terhitung kaya dengan berbagai peninggalan sejarah Islam. Selain beragam seni dan budaya Islam yang terus berkembang di daerah tersebut, sejumlah bangunan tua, seperti masjid-masjid, yang menjadi saksi perkembangan Islam di kawasan tersebut hingga kini masih dapat ditemui. Di samping Masjid Muhammadan di Pasa Batipuah, Kelurahan Pasa Gadang, Kecamatan Padang Selatan, Masjid Raya Ganting merupakan salah satu masjid tua di Kota Padang yang hingga kini masih berdiri dengan kokoh. Dibandingkan masjid Muhammadan, usia Masjid Raya Ganting jauh lebih tua. Arsitektur Masjid Ganting merupakan perpaduan dari berbagai corak arsitektur karena pengerjaannya melibatkan beragam etnis seperti Belanda, Persia, Timur Tengah, Cina, dan Minangkabau. Bahan-bahannya dipilih yang bermutu tinggi. Untuk bahan kayu didatangkan dari Bangkinang, Riau (kayu Ulin), Kayu Rasak dari Indrapura, Pesisir Selatan dan Kayu Kapur dari Pasaman. Sedangkan seng, ubin, semennya didatangkan dari Eropa.

Cikal bakal masjid ini adalah sebuah surau dari kayu yang terletak tidak di lokasi itu pada 1700-an. Surau ini dibongkar karena terkena proyek jalan ke Emmahaven (Pelabuhan Teluk Bayur) yang dibuat Kolonial Belanda. Pada 1805 tiga pimpinan setempat, masing-masing seorang ulama, saudagar, dan pimpinan kampung di Ganting memusyawarahkan pendirian masjid. Mereka meminta bantuan saudagar-saudagar di Pasar Gadang (Padang Kota Lama) dan ulama tak hanya di Sumatra Barat, tapi hingga ke Sumatera Barat dan Aceh. Bantuan datang tak hanya dalam bentuk uang, tapi juga tenaga tukang ahli dari pedalaman Sumatra Barat (Minangkabau). Selama lima tahun, masjid ini siap pada 1810 dengan bahan kayu, batu kali, bata, dengan pengikat kapur dicampur putih telur. Bangunan yang dibangun bangunan utama sekarang ini.

Periode kedua pada 1900 hingga 1910 adalah periode pemasangan tegel yang didatangkan dari Belanda dengan semen, serta pembuatan bagian depan masjid yang mirip dengan benteng spanyol. Dalam pembangunan ini bantuan tenaga juga datang dari Komandan Zeni (Militer Belanda). Periode ketiga pembuatan menara kiri-kanan masjid hingga siap pada 1967. Sementara itu, etnis Cina di bawah komando Kapten Lou Chian Ko (Kapten 10) ikut mengerahkantukang-tukang Cina untuk mengerjakan atap kubah yang dibuat bersegi delapan mirip bangunan atap Vihara Cina. Begitu juga Mihrab tempat dimana Imam memimpin shalat dan menyampaikan khutbahnya juga dibuat ukuran kayu mirip ukiran Cina. Di bagian tengah masjid juga dibangun sebuah panggung segi empat dan kayu ukuran 4 yarm dan diberi ukiran Cina, tempat ini digunakan oleh bilal untuk mengulang aba-aba Imam sewaktu shalat berlangsung. Waktu itu, pengeras suara dan listrik belum dikenal. Hanya sayang kedua bangunan itu tahun 1974 dibongkar oleh pengurus masjid yang bertugas pada saat itu. Pada tahun 1803- 1819, ketika gerakan Ulama Padri mulai bangkit di Minangkabau, maka para ulama Padri juga mengambil peranan dalam pembangunan Masjid Raya Ganting kala itu. Peranan itu diberikan dalam bentuk pengiriman beberapa tukang ahli ukiran Minangkabau yang akan dibuatkan pada papan les plang atap masjid tersebut.

Pada tahun 1833 terjadi gempa bumi di Padang dan menimbulkan gelombang tsunami yang merambah sebagian besar Kota Padang. Masjid Raya Ganting termasuk bangunan yang selamat dan hantaman gelombang tsunami, Namun lantai batu Mesjid terpaksa diganti dengan lantai campuran kapur kulit kerang dan batu apung. Kini, masjid tua yang eksotis ini terdiri atas dua bagian besar yakni bagian luar dan bagian dalam. Bagian luar Mesjid digunakan sebagai pelataran parkir, taman, perpustakaan masjid, ruangan wudhu, beduk, dan kamar tamir. Sementara, bagian dalam masjid berupa ruang lepas tempat shalat, mihrab di bagian barat sekaligus sebagai penentu arah kiblat, serta terdapat 25 tiang penyangga. Tiang sebanyak itu melambangkan 25 nabi atau rasul yang wajib diimani yang nama-namanya terukir indah dalam tulisan kaligrafi yang ada dalam masjid tersebut. Sedangkan pada bagian luarnya terdiri dari pelataran parkir yang memadai, taman, perpustakaan masjid, ruangan wudhu, beduk, dan kamar t’mir .

Tiang-tiang ini berfungsi sebagai penyangga balok-balok kayu untuk penahan lantai bagian atas bangunan kayu yang mirip pagoda. Tiang-tiang yang juga terbuat dari bata merah dengan bahan perekat kapur dicampur putih telur ini sama sekali tidak menggunakan tulang besi. Bahkan balok-balok kayu hanya diletakkan di atasnya tanpa ikatan. Gempa 6,7 Scala Richter yang mengguncang Padang pada 10 April 2005 yang bersumber dari Kepulauan Mentawai meretakkan 15 tiang ini, bahkan satu di antaranya terjatuh sebagian puncaknya.

Tatanan atap Masjid Ganting berupa atap susun berundak-undak sebanyak 5 tingkat. Tingkat pertama bercorak tradisional segi empat mirip atap rumah adat tanpa gonjong. Sedangkan tingkat 2-4 berbentuk segi delapan seperti kelenteng. Ada celah di tiap bagian atap untuk pencahayaan. Masjid ini mempunyai 8 pintu pada bagian dalam dan 17 buah jendela bergaya Persia. Dalam perjalanan sejarah Kota Padang, masjid turut memberikan andil. Selain lokasi pengembangan agama Islam di Sumatera, juga pernah dijadikan lokasi Jambore Hisbul Wathan se-Indonesia pada 1932, dijadikan lokasi rapat pemuda pejuang di zaman proklamasi dan revolusi 1945. Pada 1942, Ir. Soekarno, yang kelak menjadi presiden RI pertama pernah menginap di rumah di belakang masjid dan selalu shalat di masjid ini.



Dengan jumlah masjid di Sumbar yang mencapai 4.682 unit, masjid-masjid kuno yang mempunyai nilai penting baik dari segi sejarah dan pengembangan Islam, tentu tidaklah seberapa. Namun kesadaran semua pihak untuk melestarikan dan memberdayakan masjid yang ada adalah keharusan.
Di sisi lain, kembali ke masjid harus diarifi semua tidak saja dengan ucapan tetapi juga perbuatan. Yakni menjadikan masjid sebagai tempat belajar dan sumber ilmu. Pengembangan perpustakaan masjid, pendirian pusat-pusat kajian Islam, mengharuskan setiap masjid memiliki TPA dan TPSA, merupakan hal yang harus dilakukan. Kalau tidak, masjid tentunya akan “lapuk” tidak saja ditelan waktu, tetapi juga ditelan perkembangan zaman.

Masjid di Sulawesi


Masjid ini dibangun oleh Tuan Bima atau Umar Babhar Mahsum pada tahun 1603 masehi. Belio ialah seorang ulama yang datang ke Samrobone sekitar tahun 1602 Masehi, dengan gelar Tuan Dengkang. Masjid ini dibangun sebagai simbol Kekuatan negara. Lokasi Masjid berada di desa Samrobone, kecamatan Mappka Sunggu, kecamatan Takalar. Sumber: Direktori Masjid Bersejarah Departemen Agama RI Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Direktorat Urusan Agama Islam dan pembianan Syari’ah Jakarta tahun 2008





MASJID NURUL JIHAD MAERO
Masjid ini dibangun pada tahun 1928 M di desa Maero oleh Lompo Daeng Raja, Karaeng Binamu VII, Bupati pertama kabupaten Jenepoto dan raja terahir kerajaan Binamu. Ukuran masjid ialah 60 x 60 meter dan diberinama masjid Syuhada. Saat itu masjid ini menjadi pusat perlawanan rakyat terhadap Belanda, tahun 1946 masjid ini dihancurkan oleh Kapten Westerling. Tahun 1948 puing-puing masjid dibangun kembali oleh mattewakkang Karaeng Raya atau Karaeng Binamu IX dan diganti nama menjadi masjid Jihad, Renovasi setelah itu dilakukan pada tahun 1953 oleh H. Mattewakkang dan di lanjutkan oleh Lolagu Daeng Tompo. Tahun 1996 kembali direnovasi oleh Ir. Zanuddin Karaeng Ngupa dan menjadi masjid Jami Nurul Jihad. Lokasi masjid berada di jalan Lanto Daeng Pasewang, kabupaten Jeneponto



MASJID ANGKATAN 45
Pembangunan masjid ini dimulai tahun 1912 M, dalam bentuk langgar atau Langkara dengan konstruksi kayu, lantai papan dan atap ijuk. Nama masjid ini beberakali mengalami perubahan yakni tahun 1912 – 1932 M bernama Langkara Kampung Maddenra, kemudian tahun 1932 M dirubah menjadi Masjid Khaerul Jabbar dan terahir tahun 1984 M menjadi masjid Angkatan 45. Alasan nama terahir masjid ini ialah karena peran masjid ini yang begitu besar sebagai pusat perlawanan rakyat dalam revolusi kemerdekaan. Lokasi masjid berada di Kampung Maddendra, Desa Watu Toa-Kecamatan Marioriawwo, Kabupaten Sopeng.


MASJID AWALUDDIN
Terletak dijalan Sultan Abdullah raya, Kelurahan Tallo-Kota Makasar. Masjid Awaluddin dibangun sekitar tahun 1940 M, atas prakarsa Lahabba Daeng Marewa (Imam Tallo saat itu). Adapun nama Awaluddin ini dipakai mengingay berdirinya kerajaan Tallo yang merupakan kerajaan pertama yang menganut ajaran Islam sehingga Rajanya bergelar Sultan Awaluddin. Masjid ini dibangun diatas tanah wakaf Lahabba Daeng Marewa dengan luas Masjid 250 m2 (20,5 x 12 meter). Tahun 1960 masjid ini dipugar untuk yang pertama kalinya dan tahun 1980 masjid ini direnovasi secara total.

mesjid di Kalimantan





Masjid Islamic Center Samarinda adalah masjid yang terletak di kelurahan Teluk Lerong Ulu, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, Indonesia, yang merupakan masjid termegah dan terbesar kedua di Asia Tenggara setelah Masjid Istiqlal. Dengan latar depan berupa tepian sungai Mahakam, masjid ini memiliki menara dan kubah besar yang berdiri tegak.

Masjid ini berdiri di atas lahan seluas sekitar 12 hektar dengan luas bangunan keseluruhan mencapai 50 ribu m2. Lokasi ini sebelumnya merupakan lahan bekas areal penggergajian kayu milik PT Inhutani I yang kemudian dihibahkan kepada Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur.

Pembangunan Islamic Center diharapkan dapat pula membangkitkan semangat kebersamaan dalam upaya menghadapi era global, selain merupakan tuntutan masyarakat untuk Samarinda memiliki sebuah sarana tempat ibadah yang memadai.


Masjid Tanah Grogot
Masjid ini diperkirakan didirikan pada abad 18 M. Masjid yang berdampingan dengan istana Tanah Grogot (sekarang menjadi museum) banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa, dimana menempatkan masjid, istana dan alun-alun dalam satu komplek. Selain itu, posisi berdampingan ini juga menunjukkan bahwa masjid ini adalah masjid kerajaan.






Masjid Raya Darussalam Samarinda

Samarinda sebagai Ibu Kota Kalimantan Timur menyimpan riwayat masjid yang cukup tua. Buktinya, pembangunan Masjid Raya Darussalam Samarinda yang berdiri pada 1925 diilhami saudagar-saudagar Suku Bugis dan Suku Banjar. Seiring kemajuan zaman bangunan masjid tertua itu banyak mengalami perubahan tanpa mengurangi ciri khasnya.
Sebelumnya masjid itu bernama Masjid Jamik yang kemudian mengalami renovasi pada 1953 dan 1967. Bahkan, semula masjid ini dibangun di atas tanah 25×25 meter di pinggiran Sungai Mahakam. Namun, dengan kemajuan Kota Samarinda yang semakin pesat menyebabkan lokasi masjid bergeser ke Jalan Yos Sudarso dengan luas sekitar 15 ribu meter persegi. Sedangkan bangunan masjid itu mengacu pada konsep Kerajaan Turki kuno. Ciri itu tampak pada bentuk kubah, menara, serta sejumlah lengkungan di atas pintu dan jendela.
Masjid tersebut dibangun khusus dibuat untuk melambangkan sejarah dan keberadaan Islam. Hal itu ditandai dengan tangga masjid yang dibangun ke arah depan dan kiri berjumlah tiga buah, bangunan menara berjumlah empat buah, satu kubah kecil dikelilingi delapan buah kubah kecil. Masjid itu juga dilengkapi empat buah kubah kecil di setiap sudut.


Masjid Shirathal Mustaqiem
Sejarah masjid Shirathal Mustaqiem, nyaris setua usia Samarinda.Setelah masuknya Islam lewat syiar Islam yang dikenalkan pedagang dari Sulawesi Selatan (Sulsel), tak lama setelah itu, sebuah masjid didirikan di pusat berdirinya Samarinda, yang dikenal pula sebagai kampung dagang di dekat Pelabuhan atau Jembatan Aji hilir Sungai Mahakam, Samarinda Seberang.
Masjid yang didirikan Sayyid Abdurrahman Bin Muhammad Assegaf atau dikenal sebagai Pangeran Bendahara, Kapitan Jaya, Petta Loloncong dan Usulonna ini hingga saat ini menjadi pusat kegiatan-kegiatan masyarakat Samarinda Seberang. Kendati dua masjid besar telah didirikan di sekitar kecamatan tersebut namun daya tarik masjid tua ini tetap penuh pesona. Khususnya pada Ramadan maupun Idul Fitri.
Selain kegiatan peribadatan, masjid yang pernah meraih juara dua festival masjid bersejarah ini memiliki fungsi pendidikan melalui sarana belajar membaca dan mengaji Al-Quran. Pada tahun 1952 didirikan sekolah madrasah dan tahun 1972 didirikan pula SMP Hasanuddin. Tahun 1956 ayah Walikota Samarinda Achmad Amins, H Saharuddin Mappe pernah menjadi guru Agama di Madrasah Dinil Islamiyah (MDI) ini. MDI ini mengajarkan berbagai mata pelajaran yakni ilmu tauhid, fiqhi, bahasa Arab dan ilmu-ilmu yang bernuansa Islam.