Minggu, 28 Februari 2010

Masjid di jawa barat


Masjid Agung Bandung

Lebih dari 100 tahun yang lalu, bangunan istana umat Islam di pusat kota Kembang berdiri kokoh. Seperti halnya bayi yang baru lahir, dia tidak begitu saja bisa langsung berjalan apalagi berlari. Semua ada tahapan-tahapan tertentu yang harus dilalui. Begitu pula dengan mesjid yang terletak di pusat Kota Bandung ini. Tidak serta merta bisa kokoh dan nampak indah seperti sekarang.
Dalam riwayatnya, Mesjid Agung Bandung dulu awal dibangun hanya berbalutkan dinding-dinding yang terbuat dari anyaman bambu. Begitu pula dengan aksesoris mesjid yang lain masih menggunakan bahan-bahan tradisional. Bahkan ada kolam cukup luas yang digunakan untuk berwudhu, sumber air ini pun bermanfaat untuk memadamkan si jago merah yang terjadi di sekitar Mesjid Agung Bandung pada waktu itu.
Sejarah lain mengatakan pembangunan pusat ibadah umat Islam terbesar di Kota Bandung ini “berduet” dengan pembangunan Pendopo Kabupaten Bandung di selatan pusat Kota Kembang ini. Selain itu mesjid ini adalah salah satu elemen pusat kota tradisional waktu negeri ini, di jajah oleh negeri kincir angin yaitu sebagai simbol religiusitas serta sebagai pusat keagamaan kota.
Masyarakat Priangan sangat memanfaatkan mesjid ini sebagai lahan untuk beribadah. Tidak terbatas melaksanakan shalat saja tapi juga aktivitas agama yang lain. Begitu pula yang dimanfaatkan oleh para pengelola mesjid, berusaha untuk bisa memakmurkan tempat ibadah ini dengan berbagai aktivitas seputar Islam. Contohnya adalah menggali potensi masyarakat terhadap Al-Quran dengan mengadakan pengajian, ataupun memperingati hari-hari besar umat Islam.
Mesjid Agung ini juga sering disebut Bale Nyungcung (Bale: tempat pertemuan masyarakat, nyungcung: lancip). Dikatakan seperti itu, karena bentuk atapnya yang lancip (nyungcung) seperti gunungan. Menurut catatan sejarah, mesjid yang bertempat di Alun-Alun Bandung ini berhadapan dengan Bale Bandong yang berfungsi sebagai tempat pertemuan tamu kehormatan Kabupaten Bandung.
Sama seperti halnya kantor lembaga biasa, mesjid ini pun memiliki struktural kepengurusan agar tata tertib dan kemakmuran mesjid lebih terjaga. Karena ketekunan para teknokrat masjid dalam melaksanakan amanahnya, syi’ar dan kemakmuran rumah Allah ini senantiasa terpancar ke setiap penjuru kota kembang.
Karena mengikuti arus zaman, pusat ibadah ini pun mengalami metamorfosis dalam perwajahannya. Mulai dari bongkar pasang bangunan mesjid sampai perombakan di sekitarnya agar lebih luas. Beberapa ornamen masjid dibuat lebih menarik dengan gaya khas Priangan.
Meskipun demikian, bangunan mesjid tidak luput dari wajah tradisional Sunda dari bentuk mesjid sampai aksesoris yang terpajang pun menyampaikan bahwa seni Sunda tidak akan pernah hilang meskipun tergiring ombak perubahan zaman menjadi lebih modern. Di tahun-tahun berikutnya, Mesjid Agung dilengkapi dengan serambi depan dan sepasang menara yang tidak begitu tinggi dengan tutup menara dibuat tumpang susun di kiri-kanan bangunan.
Mesjid yang juga dijuluki “Kaum Bandung” ini terus mengalami pembedahan bangunan. Perubahan drastis tampak pada atap mesjid, atap mesjid tumpang susun yang dipakai dari awal mesjid ini terbentuk, kini diubah menjadi kubah model bawang bergaya Timur Tengah. Lalu dibangun menara tunggal yang berdiri tegak di halaman depan mesjid. Masa demi masa telah dilalui, seiring bergulirnya perubahan perkembangan kota yang terkenal dengan oncomnya ini, kini Masjid Agung pun menjadi pusat pendidikan Islam serta pusat kesehatan masyarakat.
Kemakmuran mesjid yang pernah menjadi tempat pertemuan besar seperti Konferensi Asia Afrika ini semakin nampak jelas. Kumandang takbir yang berkoar-koar memanggil umat Islam sekitar sana untuk segera menunaikan ibadah shalat terdengar sangat lantang. Gemuruh orang-orang yang menuntut ilmu dari anak-anak sampai kakek-nenek berkumpul disana. Pelayanan kesehatan kepada masyarakat sekitar pun tak terelakan. Kini Masjid Agung memiliki multi fungsi, bukan hanya sebagai sarana ibadah saja.
Gema tausiyah yang disampaikan oleh para da’i bukan hanya dapat didengar oleh para jama’ah yang hadir di tempat, tetapi juga dengan mengudara melalui media elektronik seperti radio. Sehingga masyarakat juga dapat mendengarkan ceramah melalui radio.
Setelah adanya pelantikan pemimpin baru Jawa barat pada waktu itu, Mesjid Agung dibedah total. Beberapa tubuh mesjid yang sudah tidak digunakan diwakafkan kepada mesjid-mesjid yang ada di Kota Peuyeum (tape singkong) ini. Tanpa tinggal diam, Gubernur Jawa Barat yang baru itu langsung mengerahkan pasukan untuk merombak kembali Mesjid Agung. Untuk tahap pertama yaitu, pembuatan bangunan yang menjulang tinggi serta dibuatnya jalan penghubung antara Mesjid Agung dengan pusat kota. Pembangunan itu memakan biaya puluhan juta rupiah.
Perombakan itu membuat wajah mesjid semakin modern. Lantai mesjid kini sudah bertingkat, semua bahan pembuatan bangunan yang terbuat dari bata dan beton, ornamen menara yang dilapisi logam, atap kubah model bawang yang diganti dengan model joglo. Namun, atap tradisional mesjid diganti dengan kubah, sehingga kesan bangunan mesjid akan lebih mudah dikenali.
Perubahan ini semakin memberikan kesan modern yang kini telah menguasai arus zaman hingga mesjid pun tak luput dari korban modernitas. Meskipun demikian, bangunan baru ini dapat menampung ribuan orang, selain itu terdapat ruangan khusus untuk meminjam ataupun membaca buku bagi para pengunjung mesjid.
Perlu diketahui pula, bahwa Presiden pertama RI pun pernah berkontribusi dalam perombakan Mesjid Agung Bandung. Namun beberapa tahun setelah kemerdekaan RI, perwajahan Mesjid Agung sungguh sangat memprihatinkan. Dinding mesjid saat itu di penuhi ornamen batu granit serta pintu gerbang yang dikerangkeng besi.
Perubahan itu membuat tempat ibadah terisolasi. Di tambah dengan hiruk pikuk pertokoan yang dari tahun ke tahun semakin menghimpit mesjid bersejarah ini. Beberapa puluh tahun kemudian, di tangan seorang arsitek, mesjid ini mengalami kembali perubahan yang cukup signfikan. Yaitu dengan diperluasnya beberapa pijakan kaki mesjid serta me-reshuffle beberapa bangunan
. Hingga akhirnya renovasi besar-besaran ini mengundang perhatian tokoh besar Jawa Barat. Maka beliau mengadakan pertemuan dengan beberapa pasukan yang turut andil dalam pembangunan mesjid untuk merubah nama Mesjid Agung menjadi “Mesjid Raya Bandung Jawa Barat”. Proyek renovasi ini memberikan nuansa baru dengan dibangunnya dua menara kembar dengan ukuran ketinggian yang melambangkan asma Allah SWT. Bangunan yang mejulang tinggi ini juga dimanfaatkan untuk kepentingan komersial, telekomunikasi dan obyek wisata.


Masjid Mungsolkanas
BANDUNG, (PRLM).- Mungkin tidak banyak warga Bandung yang mengenal Masjid Mungsolkanas. Masjid itu memang tidak terletak di pinggir jalan. Untuk mencapainya, Anda harus ke Cihampelas, berdiri di seberang Rumah Sakit Advent atau di sebelah Sekolah Tinggi Bahasa Asing.
Dari tempat itu akan terlihat sebuah pelang: Masjid Mungsolkanas, Berdiri Sejak 1869.
Siapa yang akan menyangka jika masjid mungil di dalam Gang Winataatmaja itu ternyata salah satu masjid tertua di Kota Bandung? Sayangnya, tidak ada literatur sejarah resmi yang membahas sejarah mesjid itu.
Satu-satunya sumber yang bisa memberikan penjelasan tentang Masjid Mungsolkanas pada saat ini, adalah H. Rudi S. Ahmad. Dia adalah cucu H. Zakaria Danamihardja, orang pertama yang menjadi pengurus Masjid Mungsolkanas, pascarevolusi kemerdekaan.
Di tangan Rudi, tersimpan dengan baik catatan harian Zakaria Danamihardja, yang berisi kisah hidup dan silsilah keluarganya, termasuk riwayat Masjid Mungsolkanas, yang memang didirikan oleh leluhurnya pada 1869. Zakaria Danamihardja menulis catatan harian dan sejarah hidup leluhurnya pada tahun 1985, di usianya yang telah 80 tahun. Catatan itu ditujukan sebagai kenangan bagi anak-cucunya.
Menurut Zakaria, Masjid Mungsolkanas awalnya hanya berupa tajug yang sederhana. Masjid itu didirikan di atas lahan, yang diwakafkan oleh nenek Zakaria yang bernama Ibu Lantenas.
Lantenas merupakan perempuan kaya, janda dari R. Suradipura, Camat Lengkong, Sukabumi, yang wafat pada 1869. Tanah yang dimiliki oleh Lantenas, mulai dari Jalan Pelsiran sampai ke Gandok (Jl. Siliwangi). Termasuk di dalamnya, lahan untuk pemandian Cihampelas, dan pabrik daging, yang sekarang telah berubah menjadi pusat belanja Cihampelas Walk. Lantenas wafat pada tahun 1921 di usia 80 tahun.
Masjid itu diberi nama Mungsolkanas oleh Mama Aden alias R. Suradimadja alias Abdurohim, yang juga keluarga Lantenas. Mama Aden memberi nama Mungsolkanas, sebagai singkatan dari mangga urang solawat ka nabi SAW (mari kita solawat ke nabi SAW). Di zaman Belanda, Mama Aden sering menulis di media massa Islam waktu itu, misalnya Al Muhtar. Di setiap artikelnya, Mama Aden selalu membubuhkan inisial TTM yang merupakan singkatan Tajug Tjihampelas Mungsolkanas.
Tajug Mungsolkanas pertama kali dipugar menjadi masjid pada tahun 1933, hampir bersamaan saat Wolf Schumaker memugar Masjid Kaum Cipaganti. Bedanya, Mungsolkanas dipugar atas biaya dan inisiatif Mama Aden, sedangkan Mesjid Kaum Cipaganti dibiayai oleh pemerintah kolonial Belanda.
Menurut catatan Zakaria, Masjid Cipaganti sendiri awalnya berupa tajug dan dibangun oleh Mohammad Tabri, yang juga leluhurnya. Saat Masjid Cipaganti dipugar oleh Schumaker, jamaah yang biasa shalat di Cipaganti untuk sementara pindah tempat ke Mungsolkanas.
Setelah Masjid Kaum Cipaganti selesai dibangun, Mama Aden yang saat itu menjadi imam dan khotib di Mungsolkanas, mengusulkan kepada Bupati Bandung, agar yang memimpin Masjid Cipaganti, adalah seorang ulama bernama Juanda.
Usulan itu didengar Bupati Bandung. Ulama Juanda pun dipanggil ke dan diuji di Masjid Kaum. Setelah dinyatakan lulus, Juanda menjadi imam Mesjid Kaum Cipaganti. Tetapi tak berapa lama, dia dipindahkan menjadi imam Masjid Ujungberung, sampai wafatnya di tahun 1935.


Masjid Raya Cipaganti
Masjid sederhana namun elegan yang terletak di Jalan Raya Cipaganti ini menjadi bagian sejarah Kota Bandung. Saat itu, sekitar awal 1930-an, Ibu Kota Bandung akan dipindah ke Kawasan Bandung Utara (KBU). Makanya pemimpin Bandung saat itu mendirikan sejumlah bangunan seperti PT Pos, Gedung Hologram, Gedung Isola dan Masjid Raya Cipaganti yang dulu bernama Masjid Tjipaganti.

"Namun entah karena alasan apa pemindahan ibu kota ke KBU batal dilakukan," ujar Muadim Masjid Cipaganti, Uju Dimyati (68 tahun). Tapi untungnya, Masjid Cipaganti tetap berdiri.

Menurut sejarahnya, Masjid Raya Cipaganti lebih terkenal dibanding masjid pertama yang didirikan di Kota Bandung, yang kini bernama Masjid Raya Bandung. Kenapa? Karena masjid ini adalah satu-satunya masjid yang berdiri di kawasan kediaman orang Eropa. Masjid ini pula menjadi salah satu tonggak sejarah perkembangan Islam di Bandung.

Uju mencatat sejumlah nama penting yang pernah beraktifitas di masjid ini. Tak hanya sekadar salat, mereka mengobrol hal-hal penting. "Dari mulai Presiden Soekarno hingga ke Gubernur Jabar R Nuryana beberapa kali berkunjung kesini," katanya menjelaskan.

Selain tokoh nasional, Masjid ini banyak dikunjungi turis. Mereka sengaja datang untuk melihat secara langsung kekokohan masjid buatan orang Belanda. Mereka berasal dari Cina, Jepang, dan daerah Eropa. Bahkan pernah suatu hari, keturunan dari arsitek Masjid Raya Cipaganti yang juga tercatat sebagai arsitek bangunan-bangunan penting di Bandung, Prof Wolff Schomaker, datang kesini.

"Biasanya turis-turis itu berfoto ria di depan masjid atau melihat-lihat ke dalam masjid," ujar Uju.

Masjid inipun biasanya menjadi tempat persinggahan masyarakat yang akan melakukan perjalanan ke Lembang. Mereka berhenti sejenak untuk salat, beristirahat dan makan. Ketika Ramadan seperti sekarang, banyak sekali orang yang menghabiskan waktu disini. Ada yang ikut mengaji, salat, bersedekah, namun ada pula yang numpang tidur.



MASJID MERAH PANJUJUN
Masjid ini berlokasi di Jalan olektoran kelurahan panjunan, kecamatan Lemahwungkuk, kota Cirebon. Lokasi masjid ini dikenal sebagai perkampungan Arab yang telah berdiri semenjak tahun 524. Pembangaunan masjid dimulai tahun 1480 M oleh Pangeran Panjunan, dengan ukuran 150 m2. Tahun 1949 dibangun pagar Kutaosod, sekelilingi halaman masjid oleh panembahan Ratu (Cicit Sunan Gunung Jati), pintu masuk di bangun sepasang candi bentar dan pintu panel Jati Berukir. Pada tahun 1978 masyarakat setempat memebangun menara pada halaman depan sebalah seltan sementara candi bentar dan pintu panel diBongkar. Keadaan masjid yang masih terawat ii bertahan hingga kini, kecuali penggantian atap sirap oleh dinas kebudayaa dan pariwisata Prpinsi jawa Barat tahun 2001-2002.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar